27 Juni 2009

Bagaimana menjadi seorang pemimpin eBangsa yang baik?

Seorang pemimpin EI harus bersedia tidak populer. Pemimpin yang baik akan mengambil keputusan berdasarkan apa yang terbaik, bukan apa yang populer, atau dapat mempopulerkan dirinya sendiri.

Harus bersedia tidak populer sendirian karena harus menyiapkan generasi penerusnya.Pemimpin yang seperti ini dari jauh sudah mengaderkan siapa yang digadang nantinya untuk menduduki keprabon andaikata tiba waktunya pemimpin harus lengser. Pemilihan kader pun dengan seleksi yang cukup ketat, baik dari kematangan intelektual, juga kematangan emosi. Oleh sebab itu, jika sudah ditetapkan satu kader, pantang surut berubah di tengah jalan. Sebab jika keputusan pengaderan terkesan cucuk-cabut, pemimpin tadi di mata pengikut tidak memiliki wibawa apa pun.

Seorang pemimpin EI harus pandai menahan diri dalam arti dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut nasib dan kepentingan eBangsa tidak mendengarkan hatinya sendiri. Tetapi juga harus mendengarkan hati orang lain. Di sini persoalan menjadi rumit karena mendengar itu bukan urusan hati akan tetapi urusan telinga.
Sementara, tuntutannya pemimpin harus mendengar hati orang lain. Kondisi ini memerlukan kemampuan lebih dari seorang pemimpin. Kemampuan seperti ini hanya diperoleh dari seringnya pemimpin mengadakan interaksi dengan rakyatnya sehingga perasaan dan jiwa mengendap menjadi satu untuk mampu membaca keinginan rakyat.

Seorang pemimpin EI harus mampu melakukan komunikasi rasa dengan yang dipimpin.Pemimpin harus mengetahui melalui rasa; bahwa tertawanya rakyat yang ada di hadapannya bukan berarti gembira, justru sebaliknya sebenarnya rakyat tadi sedang dalam penderitaan yang panjang.

Seorang pemimpin EI harus "waskhita" (jeli, cermat) dalam arti paham betul dengan apa yang menjadi kemauan rakyatnya, walaupun mungkin dia tidak mampu memenuhi semua kemauan rakyat karena keterbatasannya. Akan tetapi paling tidak modal ini dapat memberikan arahan kepada pemimpin akan apa yang harus diperbuat untuk rakyatnya.

Seorang pemimpin EI harus mampu memenangkan "peperangan" yang dalam bentuk apa pun pengejawantahannya dengan cara, ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake (datang ke peperangan tanpa harus membawa pasukan, lalu menang tanpa harus mengalahkan).
Maksudnya jika ada pertentangan, pemimpin harus dapat menunjukkan kemampuan "linuwih"-nya dengan cara menyelesaikan segala sesuatu dengan arif.
Menyelesaikan pertentangan dengan cara tidak harus membentuk kelompok pihak yang kalah dan pihak yang menang, tetapi semua menjadi pihak yang menang. Hal serupa ini memang sulit sekali dilakukan, tetapi itulah pemimpin karena jika mudah tentu tidak perlu pemimpin.

Seorang pemimpin EI harus mampu menciptakan akhir dari setiap pertentangan di dalam negeri dengan sama-sama menang. Dalam arti tidak ada orang yang harus kehilangan muka karena perbedaan pendapat.
Pemimpin EI harus mampu menjadi dirigen (pemberi aba-aba) dari lagu yang dimainkan anak buah dengan baik dan benar. Kemudian bisa menutup lagu dengan baik dan sempurna. Tidak ada satu pun alat musik yang tertinggal bunyinya saat lagu sudah ditutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar